PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK
PARTISIPASI PEREMPUAN
DALAM POLITIK
Secara
umum, Islam merupakan Agama yang mengatur keseluruhan kehidupan manusia dan
juga membicarakan dan membahas semua hal dalam berbagai aspeknya. Termasuk
didalamnya masalah makhluk Tuhan yang berjenis kelamin permpuan. Apalagi
perempuan memang mempunyai keunikan tersendiri, mengenai asal kejadiannya,
kecenderungannya, kadar rasionalitasnya, kodratnya, sampai peran-perannya
dirumah tangga, sebagi pendidik dan bahkan sebagai pemimpin umat.
Setidaknya
sampai saat ini, masalah perempuan masih ramai dibicarakan, meskipun jauh
sebelumnya telah banyak dibahas hal yang sama, baik dalam seminar, diskusi,
halaqah, maupun dalam kajian buku. Maraknya pembahasan masalah perempuan yang
dahulu terutama dipicu oleh pernyataan-pernyataan elite politik Indonesia yang
dengan menggunakan bahasa dan atas nama politiknya tersebut menjagokan
perempuan sebagai pemimpin dinegeri ini.
Agama
dan keadilan gender menjadi salah satu
isu penting yang masih terus diperdebatkan di banyak kalangan termasuk agamawan
sendiri. Inti dari isu ini adalah soal relasi laki-laki dan perempuan.
Pertanyaan mendasar yang sering diajukan berkaitan dengan isu ini adalah apakah
agama mengafirmasi relasi laki-laki dan perempuan sebagai relasi yang setara
dan sejajar menyangkut hak-hak social, budaya dan politik mereka? Secara lebih elaboratif pertanyaan ini dapat
dikembangkan menjadi apakah kaum
perempuan dalam pandangan agama memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan dan
kedudukan yang sama dan adil di depan hukum, baik dalam urusan-urusan privat
(domestik) maupun publik, misalnya, mendapatkan akses pendidikan dan upah yang
sama dengan laki-laki, menjadi kepala negara/pemerintahan dan pengambil
kebijakan publik-politik lainnya.
1. Pandangan
Islam Terhadap Hak Berpolitik Perempuan
Pada
dasarnya hak politik setiap manusia (laki-laki maupun perempuan) telah diatur
dalam Universal Declaration of Human Right, yaitu pada pasal 19, 20 dan 21
dengan rincian sebagai berikut:
Pasal 19
Setiap orang berhak atas
kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan
memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan
informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang
batas-batas (wilayah).
Pasal 20
1.
Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan
berkumpul dan berserikat secara damai.
2.
Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki
sesuatu perkumpulan.
Pasal 21
1. Setiap orang berhak
turut serta dalam pemerintahan negerinya, secara langsung atau melalui
wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
2. Setiap orang berhak atas
kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya.
3. Kehendak rakyat harus
menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam
pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan jujur dan yang dilakukan
menurut hak pilih yang bersifat umum dan yang tidak membeda-bedakan, dan dengan
pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang menjamin
kebebasan memberikan suara.[1]
Pemerintah Indonesia telah menyetujui mengenai konvensi PBB
mengenai hak-hak politik perempuan pada tahun 1952 dengan dikeluarkannya
Undang-Undang No. 68 tahun 1958. Menurut Undang-undang ini perempuan mempunyai
hak pilih (hak untuk dipilih dan memilih) yang sama dengan laki-laki, dan
menduduki jabatan tinggi dalam pemerintahan.[2]
Banyak
dalih yang dikemukakan oleh para penentang hak perempuan, baik dengan
penafsiran al-Qur’an maupun hadist Nabi saw. Maupun menunjuk beberapa hal yang
berkaitan dengan perempuan yang mereka nilai sebagai kelemahan yang menghalangi
mereka menyandang hak tersebut. Seperti merujuk kepada ayat (QS. An-Nisa’ [4]:
34) :
الرجال قومون على النساء ....
“lelaki adalah pemimpin-pemimipin
perempuan…’’(QS. An-Nisa’ [4]:34)
Mereka
memahami ayat diatas bersifat umum, padahal memehami penggalan ayat diatas
dalam arti khusus yakni kehidupan rumah
tangga justru lebih sesuai dengan
konteks uraian ayat, apalagi lanjutan ayat tersebut menegaskan sebab
kepemimpinan itu, yakni antara lain karena lelaki berkewajiban menanggung biaya
hidup istri/keluarga masing-masing.
Apalagi
yang menunjukkan firman Allah:
tbös%ur Îû £`ä3Ï?qãç/ …….
“dan hendaklah kamu tetap di rumahmu…. ”
(Q.S al-Ahzab:33)
Sebagai
perintah Allah kepada perempuan untuk tetap tinggal dirumah, tidak boleh keluar
kecuali ada keperluan mendesak. Pendapat seperti itu sebenarnya tidak tepat,
kalaulah ayat ini kita pahami ditujukan kepada perempuan bukan terbatas hanya
kepada istri-istri Nabi SAW, sebagaimana dipahami oleh para ulama. Itu sama
sekali bukan berarti larangan terlibat dalam kegiatan masyarakat, termasuk kegiatan
politik.
Pada
dasarnya tidak ditemukan dasar yang kuat tentang larangan wanita untuk
berpolitik, justru sebaliknya ditemukan banyak dalil yang dapat menjadi dasar
untuk mendukung hak-hak perempuan dalam bidang politik. Salah satu ayat yang
dapat di kemukakan dalam hal ini adalah: tQ.S
at-Taubah ayat 71.
tbqãZÏB÷sßJø9$#ur àM»oYÏB÷sßJø9$#ur öNßgàÒ÷èt/ âä!$uÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 crâßDù't Å$rã÷èyJø9$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3ZßJø9$# cqßJÉ)ãur no4qn=¢Á9$# cqè?÷sãur no4qx.¨9$# cqãèÏÜãur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNßgçHxq÷zy ª!$# 3 ¨bÎ) ©!$# îÍtã ÒOÅ3ym ÇÐÊÈ
“dan orang-orang yang
beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari
yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan
Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana”.( tQ.S
at-Taubah:71).
Pengertian
kata auliya’ disni mencakup kerja sama, bantuan, dan penguasaan,
sedangkan pengertian menyuruh yang makruf mencakup segala segi kebaikan/perbaikan
kehidupan, termasuk memberi nasehat/kritik kepada penguasa. Dengan demikian
setiap laki-laki dan perempuan hendaknya mampu mengikuti perkembangan
masyarakatnya, agar masing-masing mampu melihat dan memberi saran maupun kritik
dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan politik.[3]
2. Jabatan
Politik atau Imamah Kubro
Jabatan
politik dalam hal ini adalah posisi dimana seseorang bisa menentukan kebijakan
tertentu, dengan tingkat otonomi yang tinggi. Biasanya posisi ini diperoleh
oleh seseorang jika ia mempunyai jabatan sebagai top leader atau imamah kubro
(pemimpin kubro) disebuah organisasi, baik yang bersifat sosial kemasyarakatan
maupun politik. Dikaitkan dengan partisipasi public perempuan, masalah ini
menjadi relative lebih kompleks. Setidak-tidaknya, persoalan ini menimbulkan
pandangan (pro-kontra) tidak hanya antar satu organisasi dengan organisasi
lain, tapi juga antar aktivis dalam sebuah organisasi.[4]
Dengan
kapasitasnya sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai tugas, hak dan kewajibn.
Termasuk menjadi pemimpin yang harus bertanggung jawab terhadap yang
dipimpinnya, tentu perempuan juga mempunyai kedudukan yang sama, dalam hadist
yang diriwayatkan dengan shahih dikatakan:
“Diriwayatkan dari
Abdullah bin Umar RA, sesungguhnya dia mendengar Rasulullah SAW telah bersabda.
Kalian semua adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas
kepemimpinan kalian. Seorang imam adalah pemimpin, dan ia akan dimintai
pertanggung jawaban atas kepemimpinannya, seorang laki-laki juga pemimpin dalam
keluarganya, dan dia akan dimintai pertanggung jawabannya, seorang perempuan
dirumah suami juga pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas
kepemimpinann itu, seorang pembantu dirumah majikannya juga seorang pemimpin
(atas keselamatan harta) dan dia akan diminta pertanggung jawabannya. Abdullah
bin Umar kemudian mengatakan bahwa semua itu ia dengar dari Rasulullah SAW, dan
ia menyangka bahwa Rasulullah SAW juga mengatakan bahwa seseorang itu juga
pemimpin atas keselamatan harta orang tuanya dan akan dimintai pertanggung
jawaban. Kalian semua adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban
atas kepemimpinan kalian”
Pada
dararnya hadist juga tidak membedakan kepemimpinan perempuan, memang ada hadist
yang dipahami sebagai pembatas dan larangannya bagi kaum perempuan untuk
menjadi pemimpin,[5]
yaitu:
لن يفلح قوم ولواامرهم امراة
“tidak akan Beruntung suatu kaum yang
menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”(HR.
Ahmad, Bukhori, an-Nasa’i, dan at-Tirmidzi melalui Abu Bakrah).
Sebenarnya,
hadist tersebut tidak dapat dipahami berlaku umum, tetapi harus dikaitkan dengan
konteks pengucapannya, yakni berkenaan dengan pengangkatan putri penguasa
tertinggi Persia sebagai pewaris kekuasaan ayahnya yang mangkat.[6]
Dari cerita tersebut pada dasarnya dapat dipetik beberapa hal yang dapat
dijadikan modal untuk memahami maksud hadist yang sesungguhnya, yaitu:
Pertama,
dengan mengingat keberadaan perempuan pada masa nabi Muhammad SAW. Dimana
secara umum perempuan belum memungkinkan untuk tampil sebagai pemimpin
tertinggi, meskipun demikian Islam telah berupaya untuk mengubah masalah
tersebut dengan banyak memberikan peran terhadap perempuan. Sehingga dapat
dimaklumi bahwa pernyataan Nabi Muhammad SAW yang mengomentari pengangkatan
putrid Kisra tersebut adalah sebagai perkiraan beliau sebagai manusia biasa
yang membeerikan prediksi bahwa dengan dipimpin oleh seorang perempuan, persi
tidak akan beruntung dan jaya.
Kedua, bisa
juga kemungkinannya bahwa dengan kisah sebagaimana disebutkan diatas, masih ada
rasa kesal atau semacamnya, mengingat kala itu surat damai Nabi Muhammad SAW,
yang mengajak menyembah kepada Allah SWT. Ternyata di tanggapi dengan
permusuhan (disobek-sobe surat dari Nabi Muhammad SAW), dan pada saat itu Nabi
juga menunjukkan rasa kesal tersebut dengan mendoakan agar Persia dan kisra
dihancurkan oleh tuhan. Jadi barang kali hadist tersebut merupakan doa
sebagaimana Nabi melakukannya pada saat mendebgar kisra menyobek-nyobek
suratnya.
Ketiga, meskipun
Nabi mengetahui bahwa perempuan pada masa itu belum mampu untuk memimpin sebuah
Negara, karena adat dan juga kebiasaan yang memang tidak memberikan kesempatan
untuk perempuan, namun sesungguhnya Nabi tahu bahwa Tuhan tidak melarang
perempuan untuk menjadi pemimpin tertinggi, dan dengan kepemimpinannya sebuah
Negara juga bisa sukse, bukti dari itu semua adalah ratu Bilgis yang ceritanya
diabadikan oleh al-Qur’an, yakni firman Allah SWT:
ÎoTÎ) Ny`ur Zor&tøB$# öNßgà6Î=ôJs? ôMuÏ?ré&ur `ÏB Èe@à2 &äóÓx« $olm;ur î¸ötã ÒOÏàtã ÇËÌÈ
“
Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita
yang memerintah mereka, dan Dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai
singgasana yang besar.” (Q.S al-Naml:23).
Dengan
demikian maka jelaslah bahwa sesungguhnya tidak ada perempuan untuk menjadi
pemimpin, dan juga tidak ada larangan mengenai perempuan menduduki jabatan
tertinggi lainnya.[7]
Harus
di akui bahwa memang ulama dan pemikir masa lalu tidak membenarkan mengenai
perempuan untuk menduduki jabatan tertinggi, baik sebagai kepala Negara,
menteri, kepala daerah, ataupun yang lainnya. Akan tetapi hal ini lebih
disebabkan oleh situasi dan kondisi masa itu, yaitu kondisi perempuan sendiri
yang belum ataupun tidak siap untuk menduduki jabatan tertinggi tersebut.
Perubahan
suatu fatwa ataupun pandangan pastilah terjadi, akibat perubahan situasi serta
kondisi, pada dasarnya setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai
hak yang sama baik dalam kepolitikan, kepemimpinan ataupun hak yang lainnya,
mka dari itu, tidaklah relevan lagi melarang perempuan untuk terlibat dalam
politik praktis maupun memimpin Negara.
Kepemimpinan
perempuan tidak hanya terbatas dalam kehidupan keluarga, akan tetapi bisa juga
dalam masyarakat. Kepemimpinan perempuan tidak hanya terbatas dalam upaya
mempengaruhi laki-laki agar mengakui hak-haknya yang sah, akan tetapi juga
harus mencakup sesame jenisnya untuk tetap bangkit dan memelihara harkat dan
martabatnya, serta membendung setiap upaya dari siapapun yang bertujuan
mengarahkan mereka kearah yang bertentangan dengan harkat dan martabatnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Fauzia, Amelia, Tentang perempuan Islam:
wacana dan gerakan,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004
Shihab, Quraish, Pandangan Islam Terhadap Perempuan, Semarang;
Rasail, 2007
Shihab, Quraish, Perempuan, Tanggerang: Lentera Hati,
2010
Subhan, Arief, dkk, Citra Perempuan dalam Islam, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2003
[1]http://www.gwu.edu/~erpapers/humanrights/udhr/lang/inz.htm
[2] Amelia Fauzia, Tentang perempuan Islam: wacana dan gerakan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004) Hal 61
[3] M. Quraish Shihab, Perempuan,
(Tanggerang: Lentera Hati, 2010) hal 381
[4] Arief Subhan, dkk, Citra
Perempuan dalam Islam, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal 120
[5] Quraish Shihab, Pandangan
Islam Terhadap Perempuan, (Semarang; Rasail, 2007) hal 78
[6] Op. Cit, Quraish Shihab, Perempuan,
hal 383
[7] Op. Cit, Quraish Shihab, hal 83
Komentar