Mirisnya Nasib Negara "Batu Loncatan"
MIRISNYA NASIB NEGARA “BATU LONCATAN”
I.
LATAR BELAKANG
Sejak lama Australia memang telah dipusingkan
oleh banyaknya imigran (pengungsi) yang berusaha masuk ke negeri itu secara
ilegal. Dari tahun ke tahun, jumlah imigran ilegal yang berusaha masuk ke
negeri itu memang tak pernah berkurang. Padahal Australia telah menerapkan
sejumlah kebijakan sangat keras terkait persoalan imigran ilegal ini, termasuk
mendirikan penjara raksasa untuk mengurung imigran ilegal yang tertangkap,
meski kebijakan ini sering mendapat protes dunia karena melanggar HAM.
Australia memiliki jumlah penduduk yang
sangat sedikit, menjadikannya negara dengan kepadatan penduduk terrendah ke-2
di dunia, yaitu 2,6 jiwa per km, Masalah muncul ketika Australia membutuhkan
tenaga kerja yang banyak pada sektor industri namun tidak dapat terpenuhi
akibat rendahnya angka kelahiran pada tahun 1930an. Hal tersebut mendorong
pemerintah Australia mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendorong
peningkatan populasi, salah satunya adalah kebijakan tentang imigrasi. Kondisi
Australia yang memiliki wilayah sangat luas dan mengandung potensi sumber daya
alam yang besar menarik banyak kalangan untuk datang untuk mencari keuntungan.
Namun, tidak semua kalangan dapat masuk ke Australia, hanya orang-orang
tertentu saja yang diizinkan memasuki wilayah dan menjadi warga negara
Australia. Australia menerapkan kebijakan White
Australia Policy sejak 1901 hingga tahun 1950an yang hanya mengizinkan
imigran Eropa untuk menjadi warga negaranya. Kebijakan ini adalah bentuk dari
kebijakan rasial dan respon atas maraknya kedatangan imigran gelap Asia,
khususnya China yang dikhawatirkan dapat menjadi saingan berat bagi penduduk
kulit putih. Namun, pada pertengahan 1960an, barulah imigran non-Eropa
diperkenankan menjadi warga negara.
II.
PENDAHULUAN
Australia menjadi salah satu negara tujuan utama bagi para
pengungsi karena ketersediaan lapangan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi
bila dibandingkan negara lain dan keamanan yang stabil mengingat Australia
dapat dikategorikan sebagai negara maju. Selain itu, adanya jaminan sosial juga
menjadi salah satu faktor yang menyebabkan para imigran gelap menjadikan
Australia sebagai destinasi utamanya. Para pengungsi dimungkinkan untuk
mendapatkan bantuan berupa uang, bantuan mencari pekerjaan, dan semacamnya dari
pemerintah Australia dalam program Centrelink.
Namun di sisi lain, hal ini menjadi persoalan serius bagi pemerintah
Australia karena para imigran kerap kali menempuh jalur ilegal untuk memasuki
Australia. Jalur ilegal tersebut tidak memberikan jaminan kepemilikan
kualifikasi khusus yang dapat menunjang kehidupan para imigran di Australia,
sehingga para imigran justru cenderung menjadi sumber permasalahan sosial
seperti kriminalitas dan kemiskinan yang membebani pemerintah. Selain itu
masuknya imigran secara ilegal dapat membawa bentuk ancaman lain seperti
terorisme, terlebih mayoritas imigran gelap berasal dari Timur Tengah yang
menjadi basis kelompok ekstrimis yang dianggap sebagai teroris oleh pemerintah
Australia. Pemerintah Australia khawatir bila teroris yang akan menyerang
Australia menumpang bersama para imigran gelap tersebut. Oleh karena itu
imigran gelap yang berusaha memasuki Australia dianggap sebagai suatu bentuk
ancaman baru terhadap Australia, sehingga perlu ditempuh berbagai cara untuk
mengatasinya.
Untuk menangani isu tentang imigran gelap yang memasuki
wilayah Australia, pemerintah Australia merasa perlu untuk meminta bantuan dari
negara-negara di sekitar wilayahnya untuk membantu mencegah masuknya imigran
gelap ke Australia, salah satunya adalah kerjasama yang dijalin pemerintah
Australia dengan Indonesia. Dalam kerjasama ini, Australia menggunakan
Indonesia sebagai ‘benteng’ pelindung untuk menghalau kedatangan para imigran
gelap.
III.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah
landasan utama kerjasama dalam bidang imigran gelap tersebut?
2.
Mengapa
kerjasama dalam bidang penanganan imigran gelap bisa terjadi?
3.
Apakah
benar kasus imigran di jadikan sebuah bisnis?
IV.
PEMBAHASAN
1.
Landasan Utama
A.
Perpektif Neo-Realisme
Neo-realisme adalah salah satu perspektif dalam Ilmu Hubungan
Internasional yang diinisiasi oleh Kenneth Waltz (1979). Neo-realisme
memusatkan perhatian pada struktur sistem internasional dan konsep distribusi
kekuatan relatif (relative gains)
yang memprioritaskan usaha-usaha untuk mencapai balance of power (kemerataan kekuatan diantara negara-negara). Struktur
sistem internasional dilihat dari sudut pandang neo-realisme adalah anarki,
yaitu dimana posisi negara-negara yang berdaulat di dalam sistem adalah sama. Konsep
distribusi kekuatan relatif (relative
gains) yang dimaksud adalah tindakan negara yang memprioritaskan
usaha-usaha untuk mencapai balance of power, tanpa
memperhatikan aspek lainnya seperti ekonomi dan sosial. Sedangkan balance of power mengacu pada kondisi
terciptanya suatu keseimbangan kekuatan antar negara-negara di dunia yang
menyebabkan terwujudnya keamanan. Relative
gains dianggap lebih penting dibandingkan dengan absolute gains menurut perspektif neo-realisme.[1]
Kenneth Waltz menjelaskan bahwa kondisi persaingan antar
negara membuat ancaman bisa datang dari mana manapun dan dalam bentuk apapun,
sehingga timbullah suatu bentuk kekhawatiran. Kekhawatiran dan berbagai
kelemahan yang dimiliki membuat negara-negara melakukan kerjasama
tertentu/aliansi untuk menangkal segala bentuk ancaman yang datang[2]. Meskipun kerjasama adalah sesuatu yang sulit untuk dibuat
dan dipertahankan, neo-realis percaya bahwa kerjasama tetap dapat dilakukan
demi terpenuhinya kepentingan nasional berupa keamanan yang menjadi prioritas
kaum neo-realis[3].
B.
Geopolitik
Klasik/classical geopolitics
Geopolitik adalah studi tentang
kondisi geografis suatu negara/wilayah yang dapat berpengaruh pada perilaku
politik internasional suatu pemerintahan di negara/wilayah tersebut. Dalam
Geopolitik Klasik yang menjadi fokus utama kajian interaksi adalah aspek-aspek
konvensional seperti kekuatan politik dan militer. Menurut pemaparan yang
disampaikan oleh Prof. Dr. Mohtar Mas’oed, dua hal utama dalam konsep ini
adalah, pertama, bahwa kondisi
geografis tidak menentukan nasib negara di dalam suatu wilayah, namun membatasi
pilihan negara tersebut. Kedua, bahwa
geopolitik adalah sesuatu yang dinamis. Perubahan makna dari suatu objek kajian
sangat dimungkinkan terjadi
Kedua teori diataslah yang menjadi alasan di balik
terjalinnya kerjasama keamanan dalam bidang pencegahan imigran gelap antara
Australia dan Indonesia dapat dijelaskan melalui dengan menggunakan teori
geopolitik klasik dan perspektif neo-realisme.
Australia memiliki prioritas tersendiri dalam aspek
pertahanan-keamanan negara regionalnya sedangkan Indonesia adalah aktor yang
tepat untuk membantu Australia dalam menghadapi ancaman tersebut. Australia
menganggap bahwa imigran gelap adalah salah satu bentuk ancaman bagi keamanan.
Lokasi Indonesia yang strategis (berada tepat di perbatasan utara Australia)
dan sering dijadikan jalur perlintasan para imigran gelap menuju Australia
menjadi alasan utama pentingnya menjadikan Indonesia sebagai benteng penghalau
para imigran. Selain itu, kerjasama dengan Indonesia dirasakan oleh Australia
sebagai cara yang paling efisien dari segi tenaga dan biaya.
2.
Kerjasama Australia dengan Indonesia dalam Penanganan Imigran.
Secara luas, Australia memulai membangun kesadaran tentang
pentingnya penanganan kasus penyelundupan dan perdagangan manusia (imigran
gelap) dengan menginisiasi pertemuan Bali
Process yang dihadiri 40 negara pada tahun 2002. Salah satu tujuan Bali Process adalah mencegah dan
menangani pergerakan ilegal terkait penyelundupan dan perdaganan manusia[4].
Untuk mengoptimalkan tujuan tersebut, secara khusus Australia berusaha menjalin
kerjasama dengan Indonesia dalam bentuk sebuah perjanjian. Pada 26 Agustus 2006
Menteri Luar Negeri Indonesia dan Menteri Luar Negeri Australia menandatangani Australia-Indonesia Agreement on the
Framework for Security Cooperation, atau lebih dikenal dengan Lombok Treaty, yaitu traktat tentang
perjanjian kerjasama keamanan antar kedua negara. Pasal 3 ayat 7 poin (a) dalam
traktat tersebut menyebutkan bahwa dalam penegakan hukum, salah satu kerjasama
yang dijalin adalah dalam bidang penyelundupan dan perdagangan manusia, yang
mengacu pada imigran gelap[5].
Sebagai tindak lanjut dari Lombok
Treaty, Australia seringkali memberikan bantuan dana kepada pihak Indonesia
untuk mendukung fungsi Indonesia sebagai ‘benteng pencegah’ bagi masuknya
imigran gelap ke Australia. Langkah ini disebut oleh Perdana Menteri
Australia Kevin Rudd sebagai Indonesian
Solution.
Berdasarkan keterangan Basyir Barmawi, Direktur Jenderal
Imigrasi Indonesia, Indonesian Solution
yang dicanangkan Australia telah menghabisakan dana sekitar 50 juta dollar
Australia hingga tahun 2009. Dana tersebut dialokasikan untuk pembangunan rumah
detensi imigrasi (rudenim) seperti yang terdapat di Tanjung Pinang, program
kontrol dan manajemen perbatasan, dan keperluan terkait lainnya[6].
Bantuan juga disalurkan oleh pemerintah Australia lewat Polisi Federal
Australia (AFP). AFP menganggap bahwa penanggulangan imigran tidak bisa
dilakukan tanpa kerjasama, untuk tu, AFP menjalin kerjasama dengan pihak
kepolisian Indonesia. Dalam kerjasama yang dilansir 5 Juli 2010 melalui Deputi
Komisaris Kepolisian Federal, Andrew Colvim, AFP mengucurkan dana AS$3,6 juta
kepada Mabes Polri untuk memfasilitasi upaya pencegahan imigran gelap datang ke
Australia.
Pengimplementasian kerjasama tersebut berbuah banyak hasil.
Pihak Indonesia telah berulang kali menggagalkan upaya penyelundupan imigran
gelap ke Australia. Contoh keberhasilan tersebut adalah penghentian kapal
berisi imigran gelap asal Sri Lanka sejumlah 255 orang pada tahun 2009,
penahanan 900 orang imigran gelap di Nusa Tenggara Timur, dan penangkapan 305
orang imigran gelap Timur Tengah sejak awal 2013 di Makassar. Dari seluruh
kasus imigran gelap yang tertangkap, mayoritas dari mereka sedang dalam
perjalanan menuju Australia untuk mencari suaka politik.
Di lain sisi, dana dari pemerintah Australia secara langsung
berdampak pada peningkatan kemampuan pertahanan Indonesia. Dengan adanya
bantuan dana, Indonesia dapat menghemat biaya operasional untuk melakukan patroli-patroli
di wilayah kedaulatannya. Bantuan seperti hibah alat transportasi darat dan
lautpun juga dapat bermanfaat bagi Indonesia karena selain menghemat biaya
pengadaan, fasilitas tersebut dapat dipergunakan tidak hanya untuk mengatasi
kasus imigran gelap, namun juga ancaman-ancaman lain seperti pencurian ikan dan
penyelundupan barang terlarang. Meskipun dalam skala kecil, bantuan dari
Australia ini sangat bermanfaat bagi peningkatan kemampuan pertahanan mengingat
hingga 2013 Indonesia baru mampu memenuhi 30% dari minimum essential force (MEF) yang dibutuhkan guna pertahanan
negara.
3.
Bisnis di Balik Kasus Imigran
Imigran yang sebahagian besar berasal dari Timur Tengah, Asia
Barat Daya, hingga Afrika Utara itu, umumnya menggunakan Indonesia sebagai batu
loncatan menuju Australia. Mereka datang ke Indonesia, baik secara legal maupun
ilegal, kemudian menggunakan wilayah Indonesia, yang berbatasan laut langsung
dengan Australia untuk masuk ke negeri kangguru ini. Australia telah pun
berulang kali mengeluhkan sikap dan upaya pemerintah dalam isu imigran ilegal
ini. Indonesia mereka sebut ‘hampir tak melakukan apapun’ guna mencegah arus
imigran ilegal ini.
Dan memang kalau kita melihat upaya-upaya yang dilakukan
perintah Indonesia, terkesan bahwa pemerintah Indonesia menilai bahwa persoalan
imigran ini adalah ‘urusan Australia’ bukan Indonesia. Walau tidak lepas tangan
sepenuhnya, imigrasi maupun Angkatan Laut Indonesia tidak melakukan upaya
sungguh-sungguh, apalagi bekerja keras untuk mencegah imigran ilegal berangkat
menuju Australia.
Sebaliknya di Indonesia, imigran ilegal ini malah menjadi
‘bisnis ilegal’. Bukan menjadi rahasia lagi jika banyak calo-calo di Indonesia
bekerja sama dengan calo imigran ilegal di sejumlah negara dunia yang
menjanjikan ‘suaka’ ke Australia. Dan nelayan-nelayan Indonesia, meski
dengan kapal yang sangat tak memadai, dengan tanpa rasa bersalah bersedia
membawa para imigran ilegal ini menuju perairan Australa meski dengan ongkos
yang tak seberapa.
Dengan kondisi pemerintah dan nelayan Indonesia yang seperti
itu maka tidak heran jika Australia gerah. Usulan oposisi Australia, melalui
pemimpin mereka, Tony Abbott, agar pemerintah Australia mengembalikan
pengungsi ilegal yang tertangkap ke Indonesia itu merupakan cerminan keputusasaan
Australia menanggapi sikap Indonesia dalam isu imigran ilegal ini.
V.
ANALISIS
Ketika melihat keadaan anarki berdasarkan perspektif
neo-realisme sesuai dengan apa yang terjadi saat ini. Saat ini negara-negara di
dunia yang berdaulat memiliki kedudukan yang sama satu sama lain. Begitu juga
halnya dengan keadaan Australia dan Indonesia. Meskipun Australia adalah negara
maju yang mengungguli Indonesia dalam berbagai aspek, Australia tetap tidak
memiliki kekuasaan apapun untuk mengganggu kedaulatan Indonesia. Dalam
kasus ini, kalaupun memiliki kekuatan yang memadai, Australia, tetap tidak
dapat mencegah imigran gelap tanpa kerjasama dengan Indonesia karena aktivitas
penangkapan imigran gelap yang melalui wilayah Indonesia akan dianggap sebagai
pelanggaran kedaulatan wilayah Indonesia.
Pada konsep relative
gains, neo-realis memprioritaskan sikap dan kebijakan suatu negara hanya
pada upaya pencapaian balance of power.
Konsep ini tidak sesuai dengan hubungan kerjasama Australia-Indonesia dalam
pencegahanan imigran gelap karena Australia tidak hanya memusatkan
kerjasama pertahanan namun juga dalam bidang lain seperti penegakan hukum. Hal
ini dijelaskan dalam Lombok Treaty
Pasal 3 bahwa terdapat 2 bentuk kerjasama keamanan/security yaitu pertahanan (Defence
Cooperation) dan penegakan hukum (Law
Enforcement) yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan transnasional
termasuk penyelundupan dan perdagangan manusia (imigran gelap)
melihat
permasalahan yang ada, ketika kita dapat berfikir secara rasional akan lebih baik bagi
Australia bila momentum yang terjadi dalam dinamika saat ini digunakan untuk
memenuhi kepentingan nasionalnya lewat kerjasama dengan Indonesia. Kemudian,
Australia menyadari bahwa meskipun wilayahnya terletak di sudut bawah Asia dan
jauh dari sekutu-sekutunya, hal tersebut tidak lantas dapat membuat Australia
harus menyerah pada segala bentuk ancamaan. Secara strategis memang Australia
memiliki keterbatasan pilihan, yaitu tidak mungkin memilih untuk mengamankan
wilayahnya sendirian. Oleh karena itu, Australia memilih bekerjasama dengan
Indonesia yang dirasa dapat memberi berbagai keuntungan.
Dari sisi anggaran, Australia melakukan penghematan karena
dengan memanfaatkan alutsista dan personil Indonesia yang biaya operasionalnya
tidak setingi Australia, Australia tetap mendapat fungsi pengamanan yang sama.
Hasil dari kerjasama ini telah berhasil mencegah masuknya banyak imigran gelap
yang berpotensi menimbulkan masalah di Australia, yang beberapa buktinya telah
penulis sampaikan di bagian pembahasan. Dari sisi tenaga, personil sipil maupun
militer Australia tidak perlu dikerahkan terlalu banyak untuk mencegah imigran
gelap, sehingga dapat dimaksimalkan untuk kepentingan lain. Dengan kata lain,
strategi Australia adalah dengan mengeluarkan sebagaian uangnya untuk mencegah
kerugian yang lebih banyak. Sedangkan bila ditinjau dari aspek strategis,
kerjasama keamanan dengan Indonesia sangat tepat karena lokasi geografis Indonesia
yang berada di jalur pelayaran para imigran gelap, sehingga bila pencegahan
dilakukan sejak di Indonesia, hasil yang didapat akan lebih optimal.
VI.
PENUTUP
Ada beberapa kesimpulan yang bisa di ambil dalam kasus
kerjasama Australia dan Indonesia dalam mengatasi imigran gelap, diantaranya
yaitu:
Pertama, Digolongkannya imigran gelap sebagai bentuk ancaman,
lokasi strategis Indonesia, dan efisiensi menjadi alasan utama Australia merasa
perlu untuk menjalin kerjasama dengan Indonesia dalam hal keamanan, khususnya
pencegahan imigran gelap.
Kedua, perspektif
neo-realisme hanya mampu menjelaskan alasan diadakannya kerjasama
Australia-Indonesia melalui konsep sistem internasional yang anarki dan
pemenuhan kepentingan nasional dengan kerjasama. Konsep relative gains tidak dapat menjelaskan terciptanya hubungan
kerjasama Australia-Indonesia yang tidak hanya terjadi pada bidang pertahanan
saja dalam kasus ini. Hal ini mengindikasikan bahwa seiring dengan perkembangan
zaman, interaksi antar negara di dunia semakin kompleks dan meluas, sehingga
suatu perspektif belum tentu bisa menjelaskan suatu fenomena interaksi
aktor hubungan internasional secara keseluruhan.
Demikianlah makalah
yang bisa saya sampaikan, semoga bisa menjadi rujukan dan pencerahan dalam menangani
kasus-kasus penanggulangan imigran gelap Australia, saya yakin makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang mendukung sangat
diperlukan, terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
About Bali Process.
<http://www.baliprocess.net/>.
Agreement
Between the Republic of Indonesia and Australia on the Framework for Security
Cooperation. Pasal 3 ayat 7 dan ayat 9.
Kegley, Charles William. World Politics. Wadsworth. Boston: 2011.
Stephen Fitzpatrick dan Matthew Franklin. PM Kevin Rudd's
$50m Indonesian solution. 23
Waltz, Kenneth. Theory of International Politics. Massachusetts: 1979..
[1] Kenneth Waltz,.
Theory of International Politics.
Massachusetts: 1979. Hal 195.
[2]
Charles William Kegley,. World Politics. Wadsworth.
Boston: 2011. Hal 35.
[3]
Ibid, Hal 43
[4]
About Bali Process.
<http://www.baliprocess.net/>.
[5] Agreement Between the Republic of
Indonesia and Australia on the Framework for Security Cooperation. Pasal 3 ayat
7 dan ayat 9.
Komentar